PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 31 TAHUN 2011 TANGGAL 6 JUNI 2011
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA
YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
serta Pasal 5 PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka
yang Diperdagangkan di Bursa, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung dinyatakan
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Pasal 4 ayat (1) dan
ayat (2) huruf c UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan dan karenanya
tidak sah dan tidak berlaku umum;
b. bahwa PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka
yang Diperdagangkan di Bursa tidak dapat dilaksanakan dengan tidak berlakunya
Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 5; dan
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pencabutan
PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
Diperdagangkan di Bursa;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENCABUTAN PERATURAN
PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA.
Pasal 1
PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka
yang Diperdagangkan di Bursa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4983) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Terhadap Pajak Penghasilan yang bersifat final atas
penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa yang telah dipungut berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH
nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi
Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan Di Bursa, dikembalikan
dan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan mekanisme pengembalian kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
Pasal 3
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 6 Juni 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 60
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2011
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG
DIPERDAGANGKAN DI BURSA
I. UMUM
Berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung Register Perkara Nomor 22P/HUM/2009 terkait dengan
permohonan hak uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009
tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Derivatif Berupa
Kontrak Berjangka Yang Diperdagangkan Di Bursa, Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), serta Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa
Kontrak Berjangka Yang Diperdagangkan Di Bursa bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi in casu Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN
1983 tentang Pajak Penghasilan oleh karena itu tidak sah dan tidak berlaku
umum.
Berdasarkan
hal tersebut perlu dibentuk Peraturan Pemerintah tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
Terhadap
Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif
berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut
berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
Diperdagangkan Di Bursa, dikembalikan dan pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Cukup
jelas.
Pasal
3
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5220
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 136/PMK.03/2011 TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan
Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha
Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha
yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi antar
lain perbankan syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah
nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengenaan Pajak Penghasilan
untuk Kegiatan Usaha Perbankan Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak
Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK
PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
2. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
3. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada
Bank Syariah dan/atau unit usaha syariah berdasarkan akad wadi’ah atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah dalam bentuk giro,
tabungan, deposito atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
5. Nasabah Investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank syariah dan/ atau unit usaha syariah dalam bentuk investasi berdasarkan
akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan nasabah yang bersangkutan.
6. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank syariah dan/atau unit usaha syariah dalam bentuk Simpanan berdasarkan akad
antara bank syariah atau unit usaha syariah dan nasabah yang bersangkutan.
7. Nasabah Penerima Fasilitas adalah nasabah yang memperoleh
fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 2
Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan
pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha Perbankan Syariah berlaku
mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 3
(1) Penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah, termasuk
bonus, bagi hasil, margin keuntungan, dan imbalan lainnya merupakan objek Pajak
Penghasilan.
(2) Bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan yang diterima atau
diperoleh Perbankan Syariah dari kegiatan/transaksi Nasabah Penerima Fasilitas
merupakan objek Pajak Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai
ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah
selain dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Nasabah Penerima
Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai Pajak Penghasilan sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai transaksi antara Perbankan Syariah
dengan Nasabah Penerima Fasilitas.
Pasal 4
(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Nasabah Penyimpan
atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama dan dalam bentuk
apapun termasuk bonus, bagi hasil, dan penghasilan lainnya atas:
a. dana yang dipercayakan atau ditempatkan; dan
b. dana yang ditempatkan di luar negeri melalui Bank Syariah
atau unit usaha syariah yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau cabang Bank Syariah luar negeri yang berkedudukan di Indonesia,
dikenai Pajak Penghasilan sesuai
ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Nasabah Penyimpan
atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama dan dalam bentuk
apapun selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai pajak
penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 5
(1) Perbankan Syariah dapat membebankan biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dengan syarat sesuai dengan:
a. ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, termasuk bonus, bagi hasil, dan imbalan lainnya yang dibayarkan
atau terutang oleh Perbankan Syariah kepada Nasabah Penyimpan dan Nasabah
Investor kecuali biaya penyusutan dalam rangka pembiayaan dengan akad Ijarah
Muntahiyah Bittamlik; dan
b. jumlah yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip
Syariah.
(2) Pembebanan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
memperhatikan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 6
Dalam hal terdapat transaksi pengalihan harta atau
sewa harta yang wajib dilakukan untuk memenuhi Prinsip Syariah yang mendasari
kegiatan pembiayaan oleh Perbankan Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan
semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah tidak termasuk dalam pengertian
pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada
huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap pengalihan harta langsung dari
pihak ketiga kepada Nasabah Penerima Fasilitas, yang dikenai Pajak Penghasilan
sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 19 Agustus 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 509
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 137/PMK.03/2011 TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan
Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha
Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha
yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi
antara lain jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah
nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengenaan Pajak Penghasilan
untuk Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK
PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
2. Perusahaan Syariah yang selanjutnya disebut Perusahaan
adalah lembaga keuangan di luar Bank yang melakukan kegiatan pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
dari usaha Perusahaan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa
(ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa
(musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.
5. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana
untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa
(mu’ajjir) dengan penyewa (musta'jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas
barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
6. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak
(al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan
dengan pemberian keuntungan (ujrah).
7. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu
barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan
pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih sebagai laba.
8. Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang
dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat
tertentu yang disepakati para pihak.
9. lstishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (pembeli, mustahni’) dan penjual (pembuat, shani’) dengan harga yang
disepakati bersama oleh para pihak.
10. Mudharabah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui
akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain yang bertindak sebagai
penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang dana (shahibul maal)
membiayai 100% (seratus persen) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang
tidak ditentukan oleh Perusahaan (Mudharabah Mutlaqah) atau untuk proyek yang
ditentukan Perusahaan (Mudharabah Muqayyadah), dan keuntungan usaha dibagi
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
11. Mudharabah Musytarakah adalah kegiatan pendanaan yang
dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain yang
bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang dana
(shahibul maal) dan Perusahaan selaku pengelola dana (mudharib) turut
menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
12. Musyarakah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui
akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain untuk usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad.
Pasal 2
(1) Ketentuan
usaha pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan meliputi:
a. Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan Ijarah atau
Ijarah Muntahiyah Bittamlik.
b. Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil
Ujrah.
c. Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan Murabahah,
Salam, atau lstishna’.
d. Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip
Syariah.
e. Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan
Prinsip Syariah.
(2) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip
Ijarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama dengan kegiatan
sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
(3) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip
Ijarah Muntahiyah Bittamlik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan
sama dengan kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease).
Pasal 3
Ketentuan mengenai penghasilan, biaya dan pemotongan
atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 yang dilakukan Perusahaan berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1) Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:
a. Sewa Guna Usaha yang dilakukan berdasarkan Ijarah, dikenai
Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas sewa guna
usaha tanpa hak opsi (operating lease); dan
b. Sewa Guna Usaha yang dilakukan berdasarkan Ijarah Muntahiyah
Bittamlik dikenai Pajak Penghasilan atas sewa guna usaha dengan hak opsi
(financial lease).
(2) Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:
a. kegiatan usaha anjak piutang yang dilakukan berdasarkan akad
Wakalah bil Ujrah berupa keuntungan atau imbalan; dan
b. kegiatan pembiayaan konsumen yang dilakukan berdasarkan akad
Murahabah, Salam, atau lstishna’ berupa margin keuntungan atau laba, dikenai Pajak
Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari
kegiatan usaha kartu kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah berupa
fee atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun dikenai Pajak Penghasilan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(4) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari
kegiatan usaha pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah
berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun dikenai Pajak
Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 5
Pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh penyandang dana (shohibul maal) dari kegiatan pendanaan pada
Perusahaan dengan akad Mudharabah, Mudharabah Musytarakah, atau Musyarakah
berupa keuntungan dan/atau bagi hasil, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan
ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan berupa bunga.
Pasal 6
Perusahaan dapat membebankan biaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 sesuai dengan:
a. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9
Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk keuntungan dan/atau bagi hasil yang
dibayarkan atau terutang oleh Perusahaan kepada penyandang dana (shohibul
maal); dan
b. Jumlah
yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 7
Dalam hal terdapat transaksi pengalihan harta atau
sewa harta yang wajib dilakukan untuk memenuhi Prinsip Syariah yang mendasari
kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan
semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah dalam rangka kegiatan pembiayaan
oleh Perusahaan tidak termasuk dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada
huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap pengalihan harta langsung dari
pihak ketiga kepada Nasabah Perusahaan, yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 19 Agustus 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERlTA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 510
SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-82/PJ/2011 TANGGAL 11 NOPEMBER 2011
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH nomor 31 TAHUN 2011 TENTANG PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG
DIPERDAGANGKAN DI BURSA
Sehubungan dengan telah ditetapkannya PERATURAN
PEMERINTAH nomor 31 TAHUN 2011 tentang Pencabutan PERATURAN PEMERINTAH nomor 17
TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif
Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, dengan ini disampaikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 mengatur antara lain:
a. Pasal 4 ayat (1), yang menjadi objek
pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
b. Pasal 4 ayat (2) huruf c, atas
penghasilan dari transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa dapat dikenai
pajak bersifat final yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 19 PERATURAN PEMERINTAH nomor 94 TAHUN 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan mengatur bahwa dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan
tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Materi pokok yang diatur dalam PERATURAN PEMERINTAH nomor 31
TAHUN 2011 tentang pencabutan PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN 2009 adalah:
a. PERATURAN PEMERINTAH nomor 17 TAHUN
2009 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
b. terhadap Pajak Penghasilan yang
bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak
berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 dikembalikan dengan mekanisme
pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
4. Dengan memperhatikan ketentuan tentang pengembalian Pajak
Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif
berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut
sebagaimana dimaksud dalam butir 3 huruf b, maka atas penghasilan dari
transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang
diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak sejak 1 Januari 2009 dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
5. Dalam hal terhadap Wajib Pajak diberikan pengembalian atas
Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif
berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa sebagaimana dimaksud
dalam butir 4 maka penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak
berjangka yang diperdagangkan di bursa tersebut wajib dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
6. Mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 huruf b adalah
mengacu pada:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang
Seharusnya Tidak Terutang; dan
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-5/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penelitian Permohonan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan yang Seharusnya Tidak
Terutang bagi Wajib Pajak Dalam Negeri.
7. Para Kepala Kantor Wilayah diminta melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan PERATURAN PEMERINTAH nomor 31 TAHUN 2011 tentang
pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tersebut.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 11 November 2011
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
A. FUAD RAHMANY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar